Minggu, 16 Oktober 2011

Sang Guru (2)

WAHYU KEPRABON (5)

oleh Rohmat Basuki pada 11 Oktober 2011 jam 10:53
SANG GURU (7)
BERIKUT ini aku akan bercerita tentang info kontroversial  yang sudah lama tersimpan di hati tetapi baru beberapa tahun kemudian aku berhasil mendapatkan  jawabannya. Info itu adalah ”mengapa Sang Guru suka bicara kasar, misuh, mengumpat dan menghujat”
Mungkin karena kuatnya  menjaga jarak dengan harta kekayaannya sendiri, kuat membentengi diri dari keterikatan dengan makhluq jasadi dan kuat mensterilkan diri dari virus nafsu duniawi, beliau menjadi manusia yang merdeka. Merdeka dalam arti sepenuhnya. Beliau tidak takut kepada siapapun,  tidak rendah diri atau minder di depan siapapun. ”Jangan takut kepada siapapun tetapi juga  jangan menakut-nakuti siapapun.” Itu salah satu pelajaran yang  sering disampaikan kepada santrinya.
Ungkapan itu dapat menjadi pendobrak tatanan perilaku salah kaprah yang terlanjur “mapan.” Banyak orang  dengan kewenangannya yang tidak seberapa sudah berani menakut-nakuti orang yang lemah dan mempersulit urusannya sehingga dirinya tampak sebagai orang yang berharga dan tidak terjangkau. Sebaliknya, jika dia berhadapan dengan orang yang lebih berkuasa, ketakutan  akan menghinggapi dirinya walaupun dia tidak melakukani kesalahan.
Dalam Islam ada ”yassiruu wa laa tu’assiruu” ( mudahkanlah jangan kamu persulit).
Karena “kemerdekaan” yang melekat dalam dirinya maka tidak ada beban baginya  untuk melontarkan kata-kata kasar, caci-maki, umpatan atau hujatan terhadap orang-orang yang menurutnya pantas menerimanya. Acuannya cuma satu, hati nurani. Beliau berlaku atau berucap seperti apa adanya, keluar dari hati tanpa basa basi, tanpa pretensi, apalagi perhitungan untung rugi.  Anehnya, banyak orang  justru  merasa terwakili untuk mengungkapkan isi hatinya. Sebab banyak orang tertekan oleh rasa takut, rasa pekewuh dan unggah-ungguh sehingga suara hatinya terpendam lalu pada gilirannya menumbuhkan rasa frustrasi dan patah hati. Dan itu benar..., tidak salah. Itu fakta yang nyata dirasakan oleh orang-orang yang lemah dari lapisan bawah.  Ungkapan seperti ”bupati malsu ijazah” – ”pejabat bejat” – “kyai kirik” dan semacamnya sering terdengar sebagai ilustrasi dalam pengajiannya. Di sisi lain, para “korban” umpatan dan hujatan itu tak satupun yang melapor kepada polisi untuk kasus misalnya “pencemaran nama baik.” Semua berjalan baik-baik saja. Tapi jangan sekali-kali ikut-ikut cara Sang Guru misuh, mencaci atau mengumpat orang, bisa sangat berbeda nuansanya.
Ketika dalam satu kesempatan hal itu kutanyakan beliau menjawab dengan sebuah perumpamaan, ”Nek ana mobil tabrakan , remuk, apa cukup digawakke sulak karo pethik?” – “kalau ada mobil tabrakan dan hancur apa cukup diperbaiki dengan sulak (bulu ayam pembersih debu) dan alat pembuka sekrup? “
Aku mengangguk sambil mencerna kalimatnya. Pemahamanku saat itu, berarti  pisuhan, caci-maki, umpatan  dan hujatan itu hanya untuk orang-orang yang rusak seperti mobil tabrakan dan hancur. Tidak cukup hanya diingatkan dan dinasehati. Dia harus “digergaji, dikenteng, dibakar lalu disambung atau dilas”.
Dalam bahasa Jawa mencaci-maki  atau mengumpat itu  ”misuh”. Cuci tangan atau cuci kaki bahasa Jawanya ”wisuh – wijik”. Menjawab pertanyaanku beliau menambah keterangannya begini, ”kudune sing tak pisuhi kuwi maturnuwun karo aku…wong wis tak wisuhi… tak resiki….” (mestinya orang yang sudah tak umpat, tak caci maki itu berterimaksih padaku karena sudah tak cuci, tak bersihkan). …….
Dan memang, setelah mencaci-maki seorang pejabat, beliau lanjutkan dengan doa semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan mengajak semua santri membaca Al-Fatihah untuknya.
Jika tujuannya memang untuk “misuhi” atau ”membersihkan” seseorang, maka benarlah apa yang beliau lakukan karena umpatan dan hujatan itu hanya disampaikan saat pengajian, bukan dalam interaksi sehari-hari… Bahkan sebaliknya, yang kurasakan selama dekat dan bergaul dengan beliau aku melihat kehalusan budi pekerti dan kelembutan hatinya.
Bagaimana cara beliau menghadapi murid-murid saat memberi pengarahan menjelang liburan misalnya, suasananya bebas dan gembira penuh ketulusan. Kehalusan budi pekertinya juga sempat aku saksikan dalam jamuan makan bersama pejabat tingkat propinsi dan seorang kyai besar dari sebuah pondok pesantren terkenal.
Suatu hari di tahun 2003, aku bersama 3 orang teman pria dan Sang Guru melakukan perjalanan ke Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang. Waktu itu pimpinan pondoknya adalah Bapak KH. Abdurrohman Chudlori ( sekarang sudah almarhum) yang juga salah satu Rois Aam PKB. Sang Guru akan menemui Kakanwil yang sedang berkunjung ke sana. Salah satu dari 3 temanku adalah kandidat kepala kantor di kabupaten. Beberapa saat sebelum sampai di pondok Sang Guru memberi perintah kepada teman-teman untuk ganti hem batik lengan panjang dan pakai peci. “Kalau aku, sudah biasa begini, nggak apa-apa…….” kata Sang Guru mengomentari busananya sendiri. Celana panjang kaos oblong tanpa alas kaki.
Di  depan pintu rumah Kyai,  beliau berkacak pinggang sambil mengucap salam. Pintu dibuka, Kyai keluar, aku menyaksikan mereka bersalaman dan berpelukan seperti sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Beliau masuk ke ruang dalam dan kami mengikutinya dari belakang. Beliau bersama Kakanwil dan Kyai duduk dalam satu meja dan kami di meja yang lain. Selesai pembicaraan, kami dijamu makan siang. Kami semua pindah ke ruang makan tapi tetap dengan  meja yang terpisah. Aku sengaja duduk di posisi yang memungkinkan bisa melihat Sang Guru makan.
Walaupun banyak orang mengira Sang Guru adalah orang kasar tetapi yang aku saksikan saat makan adalah gaya “priyayi” yang penuh tata krama dan etika. Bagaimana beliau duduk dengan tegak, memegang sendok garpu dengan benar dan mengunyah makanan dengan sopan. Juga tidak ada bunyi dentingan sendok dan garpu saat menyentuh piring. Jauh dari perkiraan sebelumnya bahwa beliau akan makan dengan lahap, cepat, diirngi bunyi cap-cap dari mulutnya dan suara nyaring dari denting sendok yang menyentuh piring.
Selain biasa mengumpat dan menghujat, sang  guru juga biasa “merusak”  tatanan protokoler yang dinilainya membatasi kemerdekaan orang untuk menghambakan dirinya hanya kepada Allah dan menggantinya dengan menghambakan diri kepada sesama makhluq yaitu jabatan dan kekayaan. Baiklah, tentang hal ini aku tulis di catatan yang akan datang.
SANG GURU ( 8 )
JIWANYA yang “bebas dan merdeka”  membuatnya memiliki pola berpikir yang bebas dan merdeka pula. Berbeda dari orang lain pada umumnya yang masih terikat dengan norma sosio-kultural yang materiil. Beliau hanya berpijak pada hubungan antara hamba dengan hamba dan hamba dengan  Tuhan. Seperti gambar segitiga samakaki. Semua hamba sama derajatnya di hadapan Tuhan dan karena itu hanya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Kaya, Maha Kuat dsb.
Beliau menilai  norma-norma sosial masa kini sudah menyesatkan, salah kaprah, bahkan memutarbalikkan posisi, siapa menyembah siapa disembah. Contohnya, pejabat itu pelayan rakyat, tetapi kenyataannya rakyatlah yang melayani pejabat. Ada aturan tak tertulis bahwa pejabat harus dihormati, rakyat boleh disepelekan. Pejabat melanggar aturan nggak apa-apa, tapi rakyat melanggar aturan ada hukuman. Pejabat sama dengan Penguasa. Padahal yang berkuasa mestinya rakyat. Anggota dewan adalah wakil rakyat, tapi  mereka nggak kenal sama yang diwakilinya.
Malah mereka mengurusi dirinya sendiri. Mereka itu mewakili atau menguasai?
Demikian juga para kyai. Mestinya mereka melayani umat tetapi kenyataannya umatlah yang melayani mereka. Kyai harus dihormati, umat boleh disepelekan. Kyai bisa  menjual umat untuk suatu kepentingan. Makin banyak umatnya, makin tinggi harga jualnya. Orientasinya, uang dan kekayaan. Maka pantaslah kalau kyai sudah tidak ditaati lagi oleh pejabat karena bisa dibeli.  ”Wong cilik kuwi nek neng ngarepe pejabat disebut rakyat, nek neng ngarepe kyai disebut umat. Posisine podho, ... Podho rekosone… Mesakke …” (Kalau di hadapan pejabat, orang kecil disebut rakyat; bila di hadapan kyai, ia disebut umat. Sama penderitaannya). Demikian Sang Guru pernah menyampaikannya di sebuah pengajian.
Dadi pemimpin kuwi kudune jumeneng noto, njejegne negoro”.   Pemimpin itu mestinya berdiri tegak di atas kedaulatan rakyat,  mengatur bangsa dan menegakkan negara.” “Pemimpin kuwi kudu bisa ngayemi, ngayomi lan nyenengake.“ Pemimpin itu harus mampu memberi kesejahteraan untuk rakyat, memberi perlindungan  dan membangun suasana yang kondusif yang membuat rakyat merasa nyaman menjalani kehidupannya. Kenyataannya, para pejabat malah  menjajah rakyat, merampok harta negara. Sudah begitu, kalau rakyat ingin ketemu pejabat harus mematuhi aturan tertentu sebagai bentuk pernghormatan.  Pejabat itu orang penting, rakyat tidak penting. Mestinya pejabat yang turun melihat kondisi rakyatnya. Apakah rakyat sudah sejahtera, sudah tercukupi kebutuhannya? Jangan makan sebelum rakyatnya kenyang, jangan membangun rumah sebelum rakyat sejahtera. Pendek kata, pejabat itu harus tirakat, berani malu (karena miskin) berani miskin (karena tidak korupsi) dan berani berkorban (sebagai bentuk rasa tanggungjawab) untuk kesejahteraan rakyatnya. Itulah pemimpin sejati.
Bagi sebagian kita, mungkin berfikir “nonsens”. Mana ada orang yang mau menjadi pejabat dengan kriteria seperti itu. Tetapi, sejarah para sahabat Rasul bisa membuktikannya. Terlalu banyak untuk diceritakan. Kalau contoh itu terlalu jauh, ambil contoh dari bumi sendiri. Banyak contoh dari  sejarah kepemimpinan kerajaan  kuno di tlatah Nusantara.
Apakah pemimpin sejati hanya untuk  masa lalu? Apakah karakter pemimpin sejati tidak akan ada lagi? Apakah Allah akan membiarkan dunia ini hancur tanpa perbaikan? Kurasa tidak. Salah satu Hadits Nabi mengatakan  dalam setiap abad akan ada pembaharu (mujadid).  Aku optimis suatu saat Allah akan mengangkat seorang hamba yang diberinya kekuatan untuk memperbaiki keadaan.
Pada catatan yang lalu aku menulis  bahwa Sang Guru kecuali suka misuh juga suka “merusak” tatanan protokoler. Tatanan protokoler yang kumaksud adalah ketentuan yang ditetapkan oleh negara untuk menjadi acuan pelaksanaan acara kenegaraan atau kegiatan yang dilakukan oleh pejabat negara.
Melalui “perusakan” tatanan itu Sang Guru ingin mengajari  rakyat bahwa pejabat itu bukan Tuhan, jadi jangan berlebihan. Juga ingin mengajari para pejabat agar rendah hati karena kepemimpinannya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Maka amanah itu harus dilaksanakan dengan adil, jujur dan bertanggungjawab.
Berikut, aku ceritakan 2 (saja) peristiwa  tentang bagaimana Sang Guru mendobrak tatanan itu.
Suatu hari di tahun 2007 Sang Guru diundang ke Keraton Surakarta dan diminta menyampaikan pidato. Yang hadir tokoh-tokoh nasional termasuk orang kedua di negeri ini. Seperti biasa, beliau mengenakan busana standard kaos oblong tanpa alas kaki. Banyak orang memandang sebelah mata pada Sang Guru. Tetapi ketika beberapa orang yang sudah kenal termasuk kerabat keraton bersalaman dan mencium tangannya, orang mulai berpikir, “siapa dia?…”
Petugas protokoler  bertanya pada Sang Guru, ”Bapak sudah siap?”
”Apa (aku)  tentara,” Sahut Sang Guru.”kok kon (kok aku disuruh)  siap?”
“Materinya apa pak?” tanya petugas protokoler. ”Ya…lihat saja nanti,” jawab Sang Guru.
”Waktunya hanya 10 menit pak,” sahut petugas protokoler.
”Saya tuh ndak usah diatur-atur …. sedetik saja bisa selesai,” seloroh Sang Guru.
Sejenak kemudian petugas itu menjauh dari Sang Guru. Gaya Sang Guru yang ketus itu sejatinya menjadi penyeimbang dari “gaya wah”nya para petugas protokoler.
Tidak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa pidato Sang Guru didahulukan sebelum sambutan para tokoh nasional.
Sang Guru naik panggung  langsung mengucap salam, “Assalaamualaikum wr wb...”  Suaranya menggelegar dan menarik perhatian. Tentu saja para hadirin terdiam, memperhatikan. Bagi yang sudah kenal, suara itu terasa menghibur tapi bagi yang belum kenal, suara itu menyakitkan. Tidak sopan.
Berikutnya Sang Guru membuka pidato dengan kata-kata, “Bapak…(menyebut nama jabatan orang kedua) yang tidak saya hormati….” Banyak mata terbelalak mendengar kata pembuka itu dan tampak risih.  Tetapi bagi yang sudah mengenal Sang Guru,  kata pembuka itu seperti hiburan yang menyegarkan. Dan  karena dibatasi oleh etika sopan santun maka yang terdengar adalah tawa kecil yang hanya terdengar oleh orang di sebelahnya. Sang Guru melanjutkan, ”Waljinah  yang saya hormati…  Yati Pesek yang saya hormati… dst. Malam itu Sang Guru membuat heboh suasana keraton.
Peristiwa kedua terjadi tahun 2008 di alun-alun kidul Yogyakarta. Sekumpulan pemuda Yogya menyelenggarakan acara memperingati 2 tahun tsunami Yogya. Sang Guru diminta menyampaikan orasi. Yang hadir para tokoh tingkat DIY dan hadir pula Hidayat Nurwachid. Ada seniman Opick yang menyanyikan lagu-lagu religius dan Sitoresmi yang membacakan beberapa puisi.  Saat berada di panggung, beliau langsung berteriak,”Kalau aku  bicara ditirukan apa tidak?” Hadirin diam dan ragu.  Pertanyaan itu diulang lagi dengan tambahan, ”Kalau tidak ditirukan aku turun.” Serentak para hadirin menjawab,”Ditirukan…!!!” “Lha iya, tadi Opick ditirukan, yang pidato tadi juga ditirukan, maka aku pun harus ditirukan…”  Hadirin tertawa lepas karena Sang Guru terkesan lucu. Setelah reda tawa hadirin, Sang Guru melontarkan pertanyaan, ”Pejabat sekarang ini banyak yang baik apa banyak yang maling?” Serentak para hadirin yang mayoritas anak-anak muda berteriak, “Maliiiiiiiiing…!” Seketika Sang Guru mengatakan , maliiiiiing…  maliiiiiing… maliiiiiing…“ dst ditirukan oleh anak-anak muda. Sementara kata-kata “maling” mengudara, seorang tokoh yang hadir di arena itu ngeloyor pergi. Pemandangannya jadi lucu. Sepertinya tokoh itu melangkahkan kaki diiringi teriakan “maling…maling..” Polisi marah kepada panitia karena mengundang pembicara “yang tidak keruan.” Heboh sana, heboh sini. Tetapi kenyataannya ketika Sang Guru turun dari panggung, beliau mendapat salam dan pelukan dari Kapolda dan dari Hidayat Nurwachid.
· · · Bagikan · Hapus


  • Tekan Enter untuk mengirim komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar