SANG GURU (3)
AKU belum sempat tabayyun
tentang info kontroversial yang telah kusiapkan sejak awal, tetapi aku
sudah menemukan fakta lapangan yang setidaknya bisa membantu memberiku
jawaban. Bagaimana orang bisa mengatakan dia tidak sholat sedang aku
menyaksikan dia mendirikan masjid dengan dasar spirit yang Islami?
Memang aku belum pernah melihat dia sholat di masjid, tetapi cukupkah
hal itu menjadi alasan untuk menyebutnya tidak sholat? Bisa saja dia
sholat di dalam kamar atau di tempat pribadi yang orang lain tidak tahu.
Soal majik, bagaimana aku bisa bertanya kalau aku sendiri sudah
keliling setiap ruangan dan tidak menemukan sesuatu pun yang
mencurigakan. Sampai ke dapur, ke kamar mandi baik kamar mandi santri
maupun kamar mandi Sang Guru. Di mana letak majiknya ya? Bahkan ketika
Keraton Kasunanan Surakarta mengalami musibah dengan meninggalnya
Sinuwun Pakubuwono XII lalu terjadi perebutan posisi pengganti Sinuwun,
keris-keris pusaka keraton dititipkan kepada Sang Guru dan disimpan
dalam 2 buah kardus besar. Melihat kumpulan keris yang teronggok di
sudut ruang tengah aku sempat bertanya, ” Ini apa Guru?” Dia jawab, “Itu
kan gara-gara Bapaknya meninggal terus anak-anaknya bertengkar berebut
kedudukan, untuk sementara mereka titipkan di sini. Kerisnya anteng di
sini, padahal katanya dia bisa jalan kemana-mana.” Beberapa saat aku
terhenyak, hatiku bertanya, pertama: dia itu orang yang seperti apa ya,
kok keris keraton saja dititipkan di sini? Kedua, pandangannya yang
realistis terhadap keris membuatku berpikir balik, bagaimana dia bisa
dikatakan menggunakan kekuatan majik?
Pemikiran yang rasional dan realistis juga aku temukan pada peristiwa lain.
Saat
itu di kantorku (sebuah instansi tingkat kabupaten) mengalami
kehilangan uang yang disimpan di brankas. Uang itu adalah uang yayasan
kesejahteraan pegawai. Kejadiannya sampai 3 kali dan jumlah nominalnya
hingga 60 juta rupiah. Tentu saja kejadian ini menimbulkan suasana
heboh di kantor. Ada yang usul lapor polisi. Yang lain melarang dengan
alasan persoalannya bisa tambah panjang, banyak urusan dan bisa-bisa
malah membuka aib sendiri. Aku mengusulkan untuk konsultasi saja kepada
Sang Guru, juga ditolak. Mereka meragukan kemampuan Sang Guru. Akhirnya
ditempuhlah jalan alternatif, konsultasi kepada seorang kyai yang
dikenal pendai mencari barang hilang.
Ada tim yang dikirim kepada
kyai yang tinggal di wilayah Salatiga. Aku, walaupun bukan anggota tim
boleh ikut ke sana. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara kerjanya.
Sesampai di sana kami dipersilakan masuk ke sebuah ruangan ukuran 2×3
meter persegi. Di sudut ruangan sudah tersedia lampu minyak (teplok),
telur ayam jawa dan minyak kelapa asli. Beberapa menit kyai melakukan
ritual tertentu sedang kami bertiga “mengheningkankan cipta”. Selesai
ritual beliau menyerahkan telur ayam jawa yang sudah diolesi minyak
kelapa kepada kami. Lalu kami disuruh melihat foto siapa yang ada di
dalam telur itu, dialah pencurinya.
Mungkin tidak akan menjadi
persoalan jika yang hadir dan melihat foto itu hanya seorang diri. Dan
karena kami datang bertiga maka ada 3 penafsiran. Kami berbeda pendapat.
Yang satu mengatakan itu foto si A. Kebetulan si A sudah lama tidak
datang ke kantor dan konon pergi ke Kalimantan jualan batik. “Modalnya
dari mana, coba.” Yang satu lagi bilang itu foto si B. Si B adalah
pegawai swasta, suami dari pegawai perempuan di kantor kami. “Dia kan
baru saja kena PHK?” Dan yang ketiga mengatakan itu foto si C. Si C
adalah pegawai senior yang hampir pensiun, punya 2 istri dan 11 anak.
“Barangkali
dia bingung bagaimana menghidupi keluarganya kalau sudah pensiun…”
Dalam hal ini kyai tadi tidak bisa ikut berpendapat. Sepenuhnya
diserahkan kepada kami. Dan hasilnya, 0 besar. Kami tidak mencapai
kesepakatan.
Setelah gagal usaha itu, diam-diam tim bekerja
mencari kyai yang lain. Aku tidak diajak karena memang aku bukan anggota
tim. Aku baru tahu setelah diumumkan bahwa hari Jum’at jam 9 pagi semua
pegawai kumpul di musolla untuk mengikuti ritual pencarian uang hilang.
Ternyata kyainya dari Sragen saja dan aku mengenal namanya. Cara yang
dipergunakan adalah dengan minum air putih yang sudah didoakan oleh
kyai.
Aku tidak sabar melihat cara kerja tim yang serba
irrasional. Aku menghadap Sang Guru dan hanya bercerita tentang situasi
kantor akhir-akhir ini. Dia tertawa sambil menyentil eksistensi kami
sebagai pegawai negeri dengan kompetensi pemikiran yang tinggi dan
Muslim pula tetapi masih mau menggunakan cara yang tidak nalar. ”Jangan
mau minum Bu Wiwik… Katakan, aku tidak mencuri tapi aku nggak mau
minum,” kata Sang Guru,”seharusnya lapor polisi saja, biar mereka yang
menyelidiki. Sekalian bisa jadi pelajaran untuk semua pegawai.”
“Nomor
hapenya pak kyai berapa?” tanya Sang Guru padaku. Setelah kembali ke
kantor aku menemukan nomor itu lalu kukirim kepada Sang Guru.
Pada
hari H jam 8 pagi berangkatlah tim itu menjemput pak kyai. Saat mereka
datang pak kyai sedang sholat dluha. Lalu mereka menunggu di ruang tamu.
Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh pak kyai menemui tim sambil
menunjukkan hapenya dan berkata, ” Ini dia pencurinya sudah ngaku…”
Dengan mata terbelalak karena terkejut anggota tim menyambut pak kyai
lalu mencoba ikut membaca isi sms di hape pak kyai. Dibacanya dengan
cermat isi sms itu lalu seorang anggota tim angkat bicara,”Pak kyai, ini
bukan pengakuan, coba kita baca bersama.”
Sms itu berbunyi ”jare arep omben-omben neng kantor… Iki lho aku duwe banyu bening, ombenen…” (katanya mau minum-minum di kantor. Ini aku punya air jernih, silakan minum…).
Untuk
kedua kalinya pencarian pencuri dengan cara alternatif itu gagal.
Selanjutnya aku tidak pernah tahu bagaimana kehilangan uang itu
diselesaikan.
Sebenarnya sejak pertama aku mengadakan Semaan
Qur’an, aku sudah mendapatkan pelajaran yang berbeda dari Sang Guru
dibanding para kyai lain yang pernah kutemukan.
Ceritanya, ketika
selesai semaan Qur’an yang pertama kali kuselenggarakan di sebuah
madrasah di Kecamatan Sumberlawang (20 km dari kota Sragen) aku
mengantarnya kembali ke pondok. Sesampai di pondok aku menyerahkan
sejumlah amplop (tentu saja berisi uang) sebagai ucapan terimakasih. Isi
amplop sudah aku bedakan antara istri Sang Guru dan pengikutnya yang
jumlahnya sekitar 10 orang. Istri Sang Guru agak malu-malu menerima
pemberianku, sedang para santri menerimanya dengan wajah datar. Setelah
itu aku berpamitan pulang.
Di luar dugaan, Sang Guru sudah
menungguku di pintu gerbang. Dengan bahasa Jawa campuran kromo dan
ngoko. Dia minta padaku supaya lain waktu jangan memberi uang. Cukup
diantarjemput saja. Sudah menjadi tugasnya untuk mengamalkan
kemampuannya menghafal Al-Qur’an. Ilmunya harus bermanfaat, bukan
memanfaatkan ilmu. Dan sebaris kalimat yang tak pernah kulupakan hingga
sekarang adalah ”jangan ajari istri dan santriku untuk menjadi burung
gagak pemakan bangkai.” Duhh…
SANG GURU (4)
SETELAH tersimpan cukup lama, akhirnya pertanyaan itu lepas juga dari mulutku.
Saat
itu kami berdua bercakap-cakap di ruang tamu. Tetapi sebelum masuk ke
pertanyaanku, baiknya aku cerita dulu tentang ruangan ini. Di ruang ini
ada seperangkat meja kursi yang terbuat dari batang pohon jati yang
dipotong sedemikian rupa hingga membentuk meja dan kursi. Asli, tanpa
plitur, hanya diamril saja sehingga serat dan tekstur kayu jati itu
masih tampak dengan jelas. Uniknya, ada satu kursi yang sandarannya
sangat tinggi dan lebar. Aku mengira kursi yang ini pasti dari batang
pohon yang berdiameter sekitar 2 atau 3 meter sehingga tempat duduknya
bisa menampung 3 orang. Aku sering melihat tamu-tamu berpose di kursi
itu. Di sebelah kiri kursi itu ada seekor “harimau” yang berdiri gagah
menghadap ke utara. Aku tidak tahu dari mana dan bagaimana harimau itu
bisa berdiri di situ. Di belakang kursi besar ada dinding anyaman bambu
kulitan yang menjadi penyekat antara ruang tamu dengan ruang tengah. Ada
pintu kecil yang menghubungkan kedua ruang itu. Baik ruang tamu maupun
ruang tengah berlantai tanah. Kalau di ruang tamu disediakan kursi,
maka di ruang tengah disediakan hamparan anyaman bambu kulitan untuk
lesehan. Pekerjaan menganyam bambu dilakukan di tempat. Di ruang ini
Sang Guru biasa menjamu makan tamu-tamunya. Beberapa tamu yang pernah
kulihat hadir di ruangan ini antara lain Akbar Tanjung, Adi Sasono,
Prof Subur Budi Santosa (Wantimpres, pendiri Demokrat), Prof Damarjati
Supajar, dosen filsafat UGM, pengamat ekonomi Faisal Basri dan yang
terakhir berkunjung sekitar 2 bulan yang lalu adalah Iwan Fals dan
Sastro Blangkon (dulu asisten pribadinya Gus Dur).
Kembali ke
pertanyaanku. Saat itu aku bertanya kepada Sang Guru, kenapa pakaiannya
selalu standard, celana panjang kaos oblong? Sama sekali tidak
mencerminkan seorang pimpinan pondok pesantren. Sarung, hem dan peci
hanya dikenakan saat menyampaikan pengajian di masjid 2 kali dalam 5
minggu yang dalam bahasa Jawa disebut selapan dina. Bahkan saat ulang
tahun pondok yang diselenggarakan setiap malam Minggu Legi bulan
Muharam Sang Guru mengenakan sarung dan peci tetapi atasannya hanya
kaos oblong lalu selembar sarung yang lain dikalungkan di leher. Baju
koko yang kian hari kian modis justru tak pernah disentuhnya. Orang yang
baru pertama kali mengenal Sang Guru pasti kecele karena mengira Sang
Guru adalah sosok tua, bersarung dan berjubah. Ini pula yang aku usulkan
kepada Sang Guru kenapa tidak berbusana seperti umumnya pimpinan
pondok pesantren atau kyai lainnya.
Sang Guru menjawab, ”Aku ini
bukan kyai, Bu Wiwik. Aku adalah pelayan bagi siapa yang membutuhkan.
Ibarat sopir bis, aku ini sopir bis umum, tidak pernah membedakan asal
usul penumpang, siapapun boleh naik, syukur-syukur sampai tujuan, kalau
mau turun di jalan.. ya , itu urusan dia.”
Mendengar jawaban ini,
aku tidak tahu harus merespon dengan kalimat apa… Aku hanya mengangguk
dan bergumam untuk diriku sendiri. “Iya.. iya.. iya…” Begitu seterusnya
hingga Sang Guru selesai bicara.
Penjelasan yang juga masih
kuingat adalah ”kalau aku pakai baju koko, duduk bersila di ruang
tertutup pegang tasbih, apa mungkin “orang-orang kotor” itu berani
mendekatiku? Siapa yang akan merawat mereka? Padahal mereka juga
membutuhkan tempat berteduh dari lelahnya menjalani hidup.
Rasanya
aku ingin menangis mendengar kalimat ini karena aku belum pernah
mendengarnya dari orang lain, bahkan dari seorang kyai sekali pun.
Pada
pengajian berikutnya, seolah ingin memperjelas keterangan yang pernah
disampaikan kepadaku, materi tentang busana itu dibahas kembali. Bahkan
pada pidato ulang tahun pondok yang ke-20 di tahun 2006, di mana
pesertanya ada ribuan orang, materi itu diungkap kembali. Kalimat Sang
Guru antara lain, ”Aku mempertahankan pakaian yang seperti ini karena
aku lebih mementingkan isi jiwaku. Sebagai hamba Allah, jiwaku, ruhku
hanya terikat pada-Nya. Setiap saat, setiap detik, waktuku aku harus
taat dan taubat pada-Nya. Itulah hablumminAllah. Sedangkan hablum
minannas, ragaku haruslah memberi manfaat kepada sesama. Apa artinya
memakai jubah kalau jiwa dan ruhnya tidak menuju ke SANA? Aku berjanji
di hadapan Allah, jika hatiku, jiwaku, ruhku tidak terus bergantung
kepada-Mu, tidak terus menyebut nama-MU, atau berhenti sedetik saja
untuk-MU, maka matikan saja aku ya Allah, yang dalam bahasa Jawa beliau
ucapkan dengan ”Panjenengan pejahi kemawon kula Gusti…” Dan aku benar-benar menangis karena degup jantungku menyentuh jiwaku yang paling dalam.
Dan
dari perjalananku selanjutnya aku menemukan beberapa kejadian yang
membuatku meyakini bahwa penjelasannya itu bukanlah omong kosong.
Suatu
hari aku melihat seorang pria dari Kecamatan Mondokan, sekitar 15 km
dari kota Sragen datang kepada Sang Guru dan melaporkan bahwa sapinya
hilang. Untuk menolong lelaki itu, Sang Guru minta agar istrinya menulis
surat untuk danramil setempat. Isi surat itu ditulis dengan bahasa
Jawa kromo, “Katur danramil Mondokan. Kula, kawula alit saking Plosorejo Gondang ngaturi pirsa bilih setunggaling wargo panjenengan kecalan sapi. Nyuwun tulung supados dipun rencangi madosi wonten sekitar dusun mriku. Atas kesaenan panjenengan mugi Gusti Allah paring kesaenan ingkang kathah dateng panjenengan”
(Kepada danramil Mondokan. Saya, orang kecil dari Plosorejo Gondang
memberitahukan bahwa ada warga Mondokan yang kehilangan sapi. Tolong
dibantu mencari di sekitar kampung itu. Atas kebaikan hati Anda, semoga
Allah membalas dengan kebaikan yang banyak). Surat dilipat lalu
dimasukkan amplop, diserahlkan kepada pria itu untuk kemudian dikirim
kepada Komandan Koramil Mondokan.
Aku tidak tahu berapa lama
proses pencarian itu, yang jelas pria itu datang kembali kepada Sang
Guru dan melaporkan bahwa sapinya sudah ketemu.
Kejadian yang lain
aku saksikan juga di ruang tamu ini. Saat itu aku bersama seorang teman
sedang menghadap Sang Guru. Tidak lama kemudian ada 3 orang pria
bertubuh kekar memanggil nama Sang Guru dengan nada berteriak tetapi
suaranya parau. Matanya juga kelihatan merah. Aku menduga mereka baru
saja mabuk. Sang Guru segera berdiri menyambut kedatangannya. Aku
melihat pemandangan yang “aneh dan asing”. Ketiga orang itu mengerubuti
Sang Guru menyalami dan menciumi tangannya terus berlanjut mencium lutut
hingga ke ujung kakinya. Sang Guru mengangkat tubuh ketiga pria itu
lalu mendudukkannya di kursi. Sang Guru memintaku masuk ke ruang tengah.
Aku mentaatinya. Aku tidak tahu isi pembicaraan mereka. 10 menit
kemudian mereka pulang dan aku diminta kembali ke ruang tamu.
Kejadian
lain kutemui saat Sang Guru mengawali pembangunan masjid di Jalan Raya
Sragen-Ngawi Km 7 sekitar tahun 2007. Di lokasi itu setahun sebelumnya
Sang Guru mendirikan Rumah Makan dengan nama “Yu Sri” , cabang dari “RM
Pecel Yu Sri” Simpang Lima Semarang. Pemilik Rumah Makan ini memang
biasa mengaji kepada Sang Guru.
Dalam waktu setahun tanah di
lokasi itu meluas hingga beberapa ratus meter ke belakang. Ternyata Sang
Guru memang berencana mendirikan masjid di belakang rumah makan.
Persiapannya cukup lama. Tanah calon masjid itu ditirakati oleh beberapa
orang pilihan dalam waktu tertentu. Tirakatnya berupa, tidur di atas
tikar tepat di tengah-tengah calon bangunan masjid, dipergunakan untuk
sholat tahajud dan untuk berdzikir kepada Allah. Bagi yang sudah pernah
mendapat tugas seperti itu, mereka akan bercerita dengan bangga tentang
pengalamannya diterpa angin malam, tentang dzikirnya yang mengharu biru
atau tentang tahajudnya yang membuatnya serasa terbang ke awan. Pas
bulan Rojab dimulailah pembangunan masjid itu. Namun sebelum penggalian
tanah untuk fondasi dimulai, pada hari Jum’at Paing setelah malamnya
mengaji, ba’da subuh ada ritual dzikir LAA ILAAHA ILLA ALLAH sambil
mengelilingi calon lokasi masjid. Acara ini langsung dipimpin Sang Guru
diikuti keluarganya dan para santrinya.
Jam 06.30 acara ini
selesai dan aku mohon pamit karena harus segera ke kantor. Oleh Sang
Guru aku “dititipi” seseorang untuk numpang di mobilku hingga ke
terminal Pilangsari. Kupersilakan dia duduk di belakang sementara aku
pegang setir di depan. Dia, pria sekitar 40 tahun tinggi besar,
rambutnya ikal dengan wajah yang terkesan kotor. Bajunya pun warna hitam
sehingga secara keseluruhan mengesankan kesedihan dan kehinaan. Dalam
perjalanan yang hanya 4 km, kami ngobrol banyak. Dari obrolan itu aku
mendengar bahwa dia asli dari Purwodadi. Mengenal Sang Guru sekitar 2
tahun yang lalu saat dia ingin melakukan pertaubatan setelah sepanjang
hidupnya diisi dengan berbagai macam kemaksiatan. Saat itu dorongannya
sangat kuat untuk bertaubat. Dia lelah menjalani kehidupan seperti yang
selama ini dia jalani. Suatu malam dia datang ke sebuah masjid lalu
duduk di tempat yang agak tersembunyi. Dia tidak tahu bagaimana caranya
mengawali masuk masjid. Dia terus saja mengikuti ceramah yang sedang
disampaikan oleh kyai di masjid itu. Tetapi ketika materinya menyangkut
pelaku maksiat dan hanya neraka tempatnya, dia menangis sedih. Sedih
sekali. Dalam hati dia bertanya, apakah tidak ada tempat kembali bagi
kami yang tersesat? Dia membatalkan diri masuk masjid. Berdiri di
pinggir jalan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Saat itulah ada mobil
berhenti di hadapannya lalu salah satu penumpang bertanya, “Mau ke
mana?” Sebelum sempat menjawab, penumpang mobil itu segera melontarkan
ajakan ” ayo ikut saya….” . Dia tidak punya pikiran apapun selain
mengikuti ajakannya. Ternyata penumpang mobil itu adalah Sang Guru. Dia
dibawa ke masjid Sang Guru, disuruhnya dia mandi keramas, ganti baju
lalu diajari bertaubat dan melakukan sholat. Setelah beberapa hari di
pondok dia diminta pulang dengan sebuah pesan untuk menjalani kehidupan
dengan cara lebih baik. Karena dia hanya punya keterampilan terapi pijat
maka dia hidup dari pekerjaan itu. Itupun, dia tidak boleh menyebut
besarnya bayaran yang dia inginkan, bahkan kalau ada bayaran yang dirasa
terlalu besar, dia harus ikhlas mengembalikannya. Prinsipnya, dia harus
lebih banyak menolong orang daripada mencari uang.
Semalam dia
dipanggil Sang Guru untuk melakukan terapi pijat karena Sang Guru
kelelahan. Dan pagi ini diikutsertakan dalam proses pembangunan masjid.
”Jadi, kalau ketemu Sang Guru saya tidak bisa berbuat apapun kecuali
menangis. Apalagi kalau Sang Guru melantunkan tahlil seperti tadi
pagi.., tidak ada yang saya inginkan kecuali menangis. Saya bersyukur
sudah diantar bertaubat dan menjalani kehidupan yang lebih baik”
Aku
melepasnya turun di depan terminal Pilangsari dengan penuh rasa empati.
Wajah Sang Guru terbayang di mataku. Aku akan terus mengikutimu,
kataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar