Minggu, 16 Oktober 2011

Sang Guru (3)

SANG GURU (3)

AKU belum sempat tabayyun tentang info kontroversial yang telah kusiapkan sejak awal, tetapi aku sudah menemukan fakta lapangan yang setidaknya bisa membantu memberiku jawaban. Bagaimana orang bisa mengatakan dia tidak sholat sedang aku menyaksikan dia mendirikan masjid dengan dasar spirit yang Islami? Memang aku belum pernah melihat dia sholat di masjid, tetapi cukupkah hal itu menjadi alasan untuk menyebutnya tidak sholat? Bisa saja dia sholat di dalam kamar atau di tempat pribadi yang orang lain tidak tahu. Soal majik, bagaimana aku bisa bertanya kalau aku sendiri sudah keliling setiap ruangan dan tidak menemukan sesuatu pun yang mencurigakan. Sampai ke dapur, ke kamar mandi baik kamar mandi santri maupun kamar mandi Sang Guru. Di mana letak majiknya ya?  Bahkan ketika Keraton Kasunanan Surakarta mengalami musibah dengan meninggalnya Sinuwun Pakubuwono XII lalu terjadi perebutan posisi pengganti Sinuwun, keris-keris pusaka keraton dititipkan kepada Sang Guru dan disimpan dalam  2 buah kardus besar. Melihat kumpulan keris yang teronggok di sudut ruang tengah aku sempat bertanya, ” Ini apa Guru?” Dia jawab, “Itu kan gara-gara Bapaknya meninggal terus anak-anaknya bertengkar berebut kedudukan, untuk sementara mereka titipkan di sini. Kerisnya anteng di sini, padahal katanya dia bisa jalan kemana-mana.” Beberapa saat aku terhenyak, hatiku bertanya, pertama: dia itu orang yang seperti apa ya, kok keris keraton saja dititipkan di sini? Kedua, pandangannya yang realistis terhadap keris membuatku berpikir balik, bagaimana dia bisa dikatakan menggunakan kekuatan majik?
Pemikiran yang rasional dan realistis juga aku temukan pada peristiwa lain.
Saat itu di kantorku (sebuah instansi tingkat kabupaten) mengalami kehilangan uang yang disimpan di brankas. Uang itu adalah uang yayasan kesejahteraan pegawai. Kejadiannya sampai 3 kali dan jumlah nominalnya hingga 60 juta rupiah. Tentu saja kejadian  ini menimbulkan suasana heboh di kantor. Ada yang usul lapor polisi. Yang lain melarang dengan alasan persoalannya bisa tambah panjang, banyak urusan dan bisa-bisa malah membuka aib sendiri. Aku mengusulkan untuk konsultasi saja kepada Sang Guru, juga ditolak. Mereka meragukan kemampuan Sang Guru. Akhirnya ditempuhlah jalan alternatif, konsultasi kepada seorang kyai yang dikenal pendai mencari barang hilang.
Ada tim yang dikirim kepada kyai yang tinggal di wilayah Salatiga. Aku, walaupun bukan anggota tim boleh ikut ke sana. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara kerjanya. Sesampai di sana kami dipersilakan masuk ke sebuah ruangan ukuran 2×3 meter persegi. Di sudut ruangan sudah tersedia lampu minyak (teplok), telur ayam jawa dan minyak kelapa asli. Beberapa menit kyai melakukan ritual tertentu sedang kami bertiga “mengheningkankan cipta”. Selesai ritual beliau menyerahkan telur ayam jawa yang sudah diolesi minyak kelapa kepada kami. Lalu kami disuruh melihat foto siapa yang ada di dalam telur itu, dialah pencurinya.
Mungkin tidak akan menjadi persoalan jika yang hadir dan melihat foto itu hanya seorang diri. Dan karena kami datang bertiga maka ada 3 penafsiran. Kami berbeda pendapat. Yang satu mengatakan itu foto si A. Kebetulan  si A sudah lama tidak datang ke kantor dan konon pergi ke Kalimantan jualan batik. “Modalnya dari mana, coba.” Yang satu lagi bilang itu foto si B. Si B adalah pegawai swasta, suami dari pegawai perempuan di kantor kami. “Dia kan baru saja kena PHK?” Dan yang ketiga mengatakan itu foto si C. Si C adalah pegawai senior yang hampir pensiun, punya 2 istri dan 11 anak.
“Barangkali dia bingung bagaimana menghidupi keluarganya kalau sudah pensiun…”  Dalam hal ini kyai tadi tidak bisa ikut berpendapat. Sepenuhnya diserahkan kepada kami. Dan hasilnya, 0 besar. Kami tidak mencapai kesepakatan.
Setelah gagal usaha itu, diam-diam tim bekerja mencari kyai yang lain. Aku tidak diajak karena memang aku bukan anggota tim. Aku baru tahu setelah diumumkan bahwa hari Jum’at jam 9 pagi semua pegawai kumpul di musolla untuk mengikuti ritual pencarian uang hilang. Ternyata kyainya dari Sragen saja dan aku mengenal namanya. Cara yang dipergunakan adalah dengan minum air putih yang sudah didoakan oleh kyai.
Aku tidak sabar melihat cara kerja tim yang serba irrasional. Aku menghadap Sang Guru dan hanya bercerita tentang situasi kantor akhir-akhir ini. Dia tertawa sambil menyentil eksistensi kami sebagai pegawai negeri dengan kompetensi pemikiran yang tinggi dan Muslim pula tetapi masih mau menggunakan  cara yang tidak nalar. ”Jangan mau minum Bu Wiwik… Katakan, aku tidak mencuri tapi aku nggak mau minum,” kata Sang Guru,”seharusnya lapor polisi saja, biar mereka yang menyelidiki. Sekalian bisa jadi  pelajaran untuk semua pegawai.”
“Nomor hapenya pak kyai berapa?” tanya Sang Guru padaku. Setelah kembali ke kantor aku menemukan nomor itu lalu kukirim kepada Sang Guru.
Pada hari H jam 8 pagi berangkatlah tim itu menjemput pak kyai. Saat mereka datang pak kyai sedang sholat dluha. Lalu mereka menunggu di ruang tamu. Tidak lama kemudian dengan tergopoh-gopoh pak kyai menemui tim sambil menunjukkan hapenya dan berkata, ” Ini dia pencurinya sudah ngaku…” Dengan mata terbelalak karena terkejut anggota tim menyambut pak kyai lalu mencoba ikut membaca isi sms di hape pak kyai. Dibacanya dengan cermat isi sms itu lalu seorang anggota tim angkat bicara,”Pak kyai, ini bukan pengakuan, coba kita baca bersama.”
Sms itu berbunyi ”jare arep omben-omben neng kantor… Iki lho aku duwe banyu bening, ombenen…” (katanya mau minum-minum di kantor. Ini aku punya air jernih, silakan minum…).
Untuk kedua kalinya pencarian pencuri dengan cara alternatif itu gagal. Selanjutnya aku tidak pernah tahu bagaimana kehilangan uang itu diselesaikan.
Sebenarnya sejak pertama aku mengadakan Semaan Qur’an, aku sudah mendapatkan pelajaran yang berbeda dari Sang Guru dibanding para kyai lain yang pernah kutemukan.
Ceritanya, ketika selesai semaan Qur’an yang pertama kali kuselenggarakan di sebuah madrasah di Kecamatan Sumberlawang (20 km dari kota Sragen)  aku mengantarnya kembali ke pondok. Sesampai di pondok aku menyerahkan sejumlah amplop (tentu saja berisi uang) sebagai ucapan terimakasih. Isi amplop sudah aku bedakan antara istri Sang Guru dan pengikutnya yang jumlahnya sekitar 10 orang. Istri Sang Guru agak malu-malu menerima pemberianku, sedang para santri menerimanya dengan wajah datar. Setelah itu aku berpamitan  pulang.
Di luar dugaan, Sang Guru sudah menungguku di pintu gerbang. Dengan bahasa Jawa campuran kromo dan ngoko. Dia minta padaku supaya lain waktu jangan memberi uang. Cukup diantarjemput saja. Sudah menjadi tugasnya untuk mengamalkan kemampuannya menghafal Al-Qur’an. Ilmunya harus bermanfaat, bukan memanfaatkan ilmu. Dan sebaris kalimat yang tak pernah kulupakan hingga sekarang adalah ”jangan ajari istri dan santriku untuk menjadi burung gagak pemakan bangkai.” Duhh…
SANG GURU (4)
SETELAH tersimpan cukup lama, akhirnya pertanyaan itu lepas juga dari mulutku.
Saat itu kami berdua bercakap-cakap di ruang tamu. Tetapi sebelum masuk ke pertanyaanku, baiknya aku cerita dulu tentang ruangan ini. Di ruang ini ada seperangkat meja kursi yang terbuat dari batang pohon jati yang dipotong sedemikian rupa hingga membentuk meja dan kursi. Asli, tanpa plitur, hanya diamril saja sehingga serat dan tekstur kayu jati itu masih tampak dengan jelas. Uniknya, ada satu kursi yang sandarannya sangat tinggi dan lebar. Aku mengira kursi yang ini pasti dari batang pohon yang berdiameter sekitar 2 atau 3 meter sehingga tempat duduknya bisa menampung 3 orang. Aku sering melihat tamu-tamu berpose di kursi itu. Di sebelah kiri kursi itu ada seekor “harimau” yang berdiri gagah menghadap ke utara. Aku tidak tahu dari mana dan  bagaimana harimau itu bisa berdiri di situ. Di belakang kursi besar ada dinding anyaman bambu kulitan yang menjadi penyekat antara ruang tamu dengan ruang tengah. Ada pintu kecil yang menghubungkan kedua ruang itu.  Baik ruang tamu maupun ruang tengah berlantai tanah. Kalau di ruang tamu disediakan kursi, maka di ruang tengah disediakan hamparan anyaman bambu kulitan untuk lesehan. Pekerjaan menganyam bambu dilakukan di tempat. Di ruang ini Sang Guru biasa menjamu makan tamu-tamunya. Beberapa tamu yang pernah kulihat hadir di ruangan ini antara lain  Akbar Tanjung,  Adi Sasono,  Prof Subur Budi Santosa (Wantimpres, pendiri Demokrat), Prof Damarjati Supajar, dosen filsafat UGM, pengamat ekonomi Faisal Basri dan yang terakhir berkunjung sekitar 2 bulan yang lalu adalah Iwan Fals dan Sastro Blangkon (dulu asisten pribadinya Gus Dur).
Kembali ke pertanyaanku. Saat itu aku bertanya kepada Sang Guru, kenapa pakaiannya selalu standard, celana panjang kaos oblong?  Sama sekali tidak mencerminkan seorang pimpinan pondok pesantren. Sarung, hem dan peci hanya dikenakan saat menyampaikan  pengajian di masjid 2 kali dalam 5 minggu yang dalam bahasa Jawa disebut selapan dina. Bahkan saat ulang tahun pondok yang diselenggarakan setiap  malam Minggu Legi bulan Muharam Sang Guru mengenakan sarung dan  peci tetapi atasannya hanya kaos oblong lalu selembar sarung yang lain dikalungkan di leher. Baju koko yang kian hari kian modis justru tak pernah disentuhnya. Orang yang baru pertama kali mengenal Sang Guru pasti kecele karena mengira Sang Guru adalah sosok tua, bersarung dan berjubah. Ini pula yang aku usulkan  kepada Sang Guru kenapa tidak berbusana seperti umumnya pimpinan pondok pesantren atau kyai lainnya.
Sang Guru menjawab, ”Aku ini bukan kyai, Bu Wiwik. Aku adalah pelayan bagi siapa yang membutuhkan. Ibarat sopir bis, aku ini sopir bis umum, tidak pernah membedakan asal usul penumpang, siapapun boleh naik, syukur-syukur sampai tujuan, kalau mau turun di jalan.. ya , itu urusan dia.”
Mendengar jawaban ini, aku tidak tahu harus merespon dengan kalimat apa… Aku hanya mengangguk dan bergumam  untuk diriku sendiri. “Iya.. iya.. iya…” Begitu seterusnya hingga Sang Guru selesai bicara.
Penjelasan yang juga masih kuingat adalah ”kalau aku pakai baju koko, duduk bersila di ruang tertutup pegang tasbih, apa mungkin “orang-orang kotor” itu berani  mendekatiku? Siapa yang akan merawat mereka? Padahal mereka juga membutuhkan tempat berteduh dari lelahnya menjalani hidup.
Rasanya aku ingin menangis mendengar kalimat ini karena aku belum pernah mendengarnya dari orang lain, bahkan dari seorang kyai sekali pun.
Pada pengajian berikutnya, seolah ingin memperjelas keterangan yang pernah disampaikan kepadaku, materi tentang busana itu dibahas kembali. Bahkan pada pidato ulang tahun pondok yang ke-20 di tahun 2006, di mana pesertanya ada ribuan orang, materi itu diungkap kembali. Kalimat Sang Guru antara lain, ”Aku mempertahankan pakaian yang seperti ini karena aku lebih mementingkan isi jiwaku. Sebagai hamba Allah, jiwaku, ruhku hanya terikat pada-Nya. Setiap saat, setiap detik, waktuku aku harus taat dan taubat pada-Nya. Itulah hablumminAllah. Sedangkan hablum minannas, ragaku haruslah memberi manfaat kepada sesama. Apa artinya memakai jubah kalau jiwa dan ruhnya tidak menuju ke SANA? Aku berjanji di hadapan Allah, jika hatiku, jiwaku, ruhku tidak terus bergantung kepada-Mu, tidak terus menyebut nama-MU, atau berhenti sedetik saja untuk-MU, maka matikan saja aku ya Allah, yang dalam bahasa Jawa beliau ucapkan dengan ”Panjenengan pejahi kemawon kula  Gusti…” Dan aku benar-benar menangis karena degup jantungku menyentuh jiwaku yang paling dalam.
Dan dari perjalananku selanjutnya aku menemukan beberapa kejadian yang membuatku meyakini bahwa penjelasannya itu bukanlah omong kosong.
Suatu hari aku melihat seorang pria dari Kecamatan Mondokan, sekitar 15 km dari kota Sragen datang kepada Sang Guru dan melaporkan bahwa sapinya hilang. Untuk menolong lelaki itu, Sang Guru minta agar istrinya menulis surat untuk danramil setempat. Isi surat itu  ditulis dengan bahasa Jawa kromo, “Katur danramil Mondokan. Kula, kawula alit saking Plosorejo Gondang ngaturi pirsa bilih setunggaling wargo panjenengan kecalan sapi. Nyuwun tulung supados dipun rencangi madosi wonten sekitar dusun mriku. Atas kesaenan panjenengan mugi Gusti Allah paring kesaenan ingkang  kathah dateng panjenengan”              (Kepada danramil Mondokan. Saya, orang kecil dari Plosorejo Gondang memberitahukan bahwa ada warga Mondokan yang kehilangan sapi. Tolong dibantu mencari di sekitar kampung itu. Atas kebaikan hati Anda, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang banyak). Surat dilipat lalu dimasukkan amplop, diserahlkan kepada pria itu untuk kemudian dikirim kepada Komandan Koramil Mondokan.
Aku tidak tahu berapa lama proses pencarian itu, yang jelas pria itu datang kembali kepada Sang Guru dan melaporkan bahwa sapinya sudah ketemu.
Kejadian yang lain aku saksikan juga di ruang tamu ini. Saat itu aku bersama seorang teman sedang menghadap Sang Guru. Tidak lama kemudian ada 3 orang pria bertubuh kekar memanggil nama Sang Guru dengan nada berteriak tetapi suaranya parau.  Matanya juga kelihatan  merah. Aku menduga mereka baru saja mabuk. Sang Guru segera berdiri menyambut kedatangannya. Aku melihat pemandangan yang “aneh dan asing”. Ketiga orang itu mengerubuti Sang Guru menyalami dan menciumi tangannya terus berlanjut mencium lutut hingga ke ujung kakinya. Sang Guru mengangkat tubuh ketiga pria itu lalu mendudukkannya di kursi. Sang Guru memintaku masuk ke ruang tengah. Aku mentaatinya. Aku tidak tahu isi pembicaraan mereka. 10 menit kemudian mereka pulang dan aku diminta kembali ke ruang tamu.
Kejadian lain kutemui saat Sang Guru mengawali pembangunan masjid di Jalan Raya Sragen-Ngawi Km 7 sekitar tahun 2007. Di lokasi itu setahun sebelumnya Sang Guru mendirikan Rumah Makan dengan nama “Yu Sri” , cabang dari “RM Pecel Yu Sri” Simpang Lima Semarang. Pemilik Rumah Makan ini memang biasa mengaji kepada Sang Guru.
Dalam waktu setahun tanah di lokasi itu meluas hingga beberapa ratus meter ke belakang. Ternyata Sang Guru memang berencana mendirikan masjid di belakang rumah makan. Persiapannya cukup lama. Tanah calon masjid itu ditirakati oleh beberapa orang pilihan dalam waktu tertentu. Tirakatnya berupa, tidur di atas tikar tepat di tengah-tengah calon bangunan masjid, dipergunakan untuk sholat tahajud dan untuk berdzikir kepada Allah. Bagi yang sudah pernah mendapat tugas seperti itu, mereka akan bercerita dengan bangga tentang pengalamannya diterpa angin malam, tentang dzikirnya yang mengharu biru atau tentang tahajudnya yang membuatnya serasa terbang ke awan. Pas bulan Rojab dimulailah pembangunan masjid itu. Namun sebelum penggalian tanah untuk fondasi dimulai,  pada hari Jum’at Paing setelah malamnya mengaji, ba’da subuh ada ritual dzikir LAA ILAAHA ILLA ALLAH sambil mengelilingi calon lokasi masjid. Acara ini langsung dipimpin Sang Guru diikuti keluarganya dan para santrinya.
Jam 06.30 acara ini selesai dan aku mohon pamit karena harus segera ke kantor. Oleh Sang Guru aku “dititipi” seseorang untuk numpang di mobilku hingga ke terminal Pilangsari. Kupersilakan dia duduk di belakang sementara aku pegang setir di depan. Dia, pria sekitar 40 tahun tinggi besar, rambutnya ikal dengan wajah yang terkesan kotor. Bajunya pun warna hitam sehingga secara keseluruhan mengesankan  kesedihan dan kehinaan. Dalam perjalanan yang hanya 4 km, kami ngobrol banyak. Dari obrolan itu aku mendengar bahwa dia asli dari Purwodadi. Mengenal Sang Guru sekitar 2 tahun yang lalu saat dia ingin melakukan pertaubatan setelah sepanjang hidupnya diisi dengan berbagai macam kemaksiatan. Saat itu dorongannya sangat kuat untuk bertaubat. Dia lelah menjalani kehidupan seperti yang selama ini dia jalani. Suatu malam dia datang ke sebuah masjid lalu duduk di tempat yang agak tersembunyi. Dia tidak tahu bagaimana caranya mengawali masuk masjid. Dia terus saja  mengikuti ceramah yang sedang disampaikan oleh kyai  di masjid itu. Tetapi ketika materinya menyangkut pelaku maksiat dan hanya neraka tempatnya, dia menangis sedih. Sedih sekali. Dalam hati dia bertanya, apakah tidak ada tempat kembali bagi kami yang tersesat? Dia membatalkan diri masuk masjid. Berdiri di pinggir jalan tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Saat itulah ada mobil berhenti di hadapannya lalu salah satu penumpang bertanya, “Mau ke mana?” Sebelum sempat menjawab, penumpang mobil itu segera melontarkan ajakan ” ayo ikut saya….” . Dia tidak punya pikiran apapun selain mengikuti ajakannya. Ternyata penumpang mobil itu adalah Sang Guru. Dia dibawa ke masjid Sang Guru, disuruhnya dia mandi keramas, ganti baju lalu diajari bertaubat dan melakukan sholat. Setelah beberapa hari di pondok dia diminta pulang dengan sebuah pesan untuk menjalani kehidupan dengan cara lebih baik. Karena dia hanya punya keterampilan terapi pijat maka dia hidup dari pekerjaan itu. Itupun, dia tidak boleh menyebut besarnya bayaran yang dia inginkan, bahkan kalau ada bayaran yang dirasa terlalu besar, dia harus ikhlas mengembalikannya. Prinsipnya, dia harus lebih banyak menolong orang daripada mencari uang.
Semalam dia dipanggil Sang Guru untuk melakukan terapi pijat karena Sang Guru kelelahan. Dan pagi ini diikutsertakan dalam proses pembangunan masjid. ”Jadi, kalau ketemu Sang Guru saya tidak bisa berbuat apapun kecuali menangis. Apalagi kalau Sang Guru melantunkan tahlil seperti tadi pagi.., tidak ada yang saya inginkan kecuali menangis. Saya bersyukur sudah diantar bertaubat dan menjalani kehidupan yang lebih baik”
Aku melepasnya turun di depan terminal Pilangsari dengan penuh rasa empati. Wajah Sang Guru terbayang di mataku. Aku akan terus mengikutimu, kataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar