Minggu, 16 Oktober 2011

Sang Guru

WAHYU KEPRABON (6)

oleh Rohmat Basuki pada 11 Oktober 2011 jam 10:55
 SANG GURU ( 9 )
TINGGAL satu pertanyaan yang belum aku sampaikan kepada Sang Guru, namun sebenarnya aku tidak perlu bertanya lagi karena dari pengamatanku sehari-hari aku sudah menemukan jawabnya. Mengapa beliau tidak memakai alas kaki.
Dulu ketika aku belum masuk pondok, beberapa komentar orang tentang hal itu masuk ke telingaku. Misalnya, ”titik kesaktian dia memang ada di situ (di tanpa alas kaki itu).“ Kesaktian. Memang Sang Guru punya kesaktian apa ya?, pikirku waktu itu. Yang lain bertanya dengan nada naif, ” kok nggak pake alas kaki. gimana kalau najis?”  Kekanak-kanakan sekali pertanyaan ini, kataku dalam hati. Ternyata beliau tetap saja memakai alas kaki saat bersuci atau ke masjid. Jadi menurutku, nggak ada masalah soal alas kaki.
            Tetapi, sekedar info, ada yang cerita padaku tentang alas kaki itu. Suatu hari entah kapan, Sang Guru mendatangi sebuah instansi pemerintah untuk satu keperluan. Seperti biasanya, beliau hanya mengenakan sendal jepit. Sebelum dilayani, petugas instansi itu melihat sendal jepit di kaki Sang Guru, langsung naik pitam dan menggertak,  ”Tidak tahu sopan santun! datang ke kantor pake sendal jepit!…. Pulang dulu, ganti sepatu!…”  Sang Guru bereaksi, langsung berdiri, melepas sendal jepit itu lalu melemparkannya keluar ruangan… “pprrakk”… Sang Guru keluar dan tidak pernah kembali lagi.
Sejak saat itu konon Sang Guru tidak pernah memakai alas kaki. Entah kenapa…
Tetapi, di lain waktu aku pernah mendengar beliau berkata, “Kita terbuat dari tanah dan akan kembali ke tanah, tidak ada salahnya kita mengakrabi tanah tempat kita kelak dikubur di dalamnya.”
            Bicara soal kesaktian, aku teringat pada cara kerja dukun dan paranormal. Mereka “pandai”  meramal, “pandai” mengatasi masalah, “pandai” menyembuhkan penyakit, bahkan “pandai” memenuhi keinginan pasien. Tapi semua itu ada syaratnya. Pertama, harus menggunakan benda-benda tertentu sebagai sarana. Kedua, harus ada mantra-mantra yang dibacanya untuk meyakinkan pasien dan ketiga, harus ada  imbalannya  yaitu dibayar sesuai permintaan. Teori ekonomi pun berlaku. Makin banyak orang kebingungan dalam menghadapi masalah makin banyak dukun dan paranormal yang memasarkan diri. Jadilah dukun dan paranormal sebagai profesi yang menjanjikan. Banyak orang yang hidup kekurangan di kampung, dengan sedikit keberanian bersandiwara pergilah dia ke Jakarta jadi dukun atau paranormal. Pulang kampung sudah jadi orang kaya. Bayangkan, “jeroannya” aki yang sudah rusak dipotong-potong ukuran  2×3 cm dibungkus kain putih, dibilang “jimat”, dijual seharga 5 juta rupiah per potong. Gimana nggak kaya?
            Banyak juga orang menganggap Sang Guru sebagai dukun atau paranormal. Itu karena mereka datang dengan membawa masalah dan yang dia mengerti hanyalah alam perdukunan. Baginya alam gaib hanyalah jin, setan, genderuwo, banospati atau prewangan yang kesemuanya berenergi negatif. Mereka tidak mengerti atau tidak memiliki keyakinan bahwa ada malaikat utusan Allah yang bisa membantu orang-orang tertentu yang dikehenadaki-NYA. Bahkan mereka mengira tidak ada orang yang memiliki kekuatan gaib kecuali dibantu oleh makhluq-makhluq halus seperti yang aku sebutkan di atas. Maka banyak orang menduga bahwa Sang Guru menggunakan ilmu klenik. Kadang Sang Guru hanya tertawa kecil mendengar tuduhan itu lalu berujar,    ”Memang fitnah dan cobaan itu makananku sehari-hari…  Makin banyak fitnah, makin sakti lah aku…”
Dan pada banyak kesempatan beliau sering berujar ”Saktiku iki sakti tanpa pirantii, tanpa aji-aji…”   Maksudnya, kesaktian beliau ini adalah sakti  tanpa sarana tanpa mantra…”
Aku merenungkan ucapan beliau yang terakhir ini lalu mencoba menelaahnya sendiri.
            Hasil telaah dan pengamatanku tentang “kesaktian” Sang Guru adalah, kalau hati dan jiwa sudah bebas dan merdeka dari ikatan belenggu materi dunia  bukankah beliau lebih mudah menemukan jalan kebaikan untuk “bertemu” dengan-Nya? Dan jika beliau bisa bertemu dengan-Nya bukankah itu berarti beliau bisa berteman dengan para aparat-Nya? Dan jika beliau berteman dengan aparat-Nya bukankah beliau bisa mengajukan usulan tentang sesuatu yang menimpa saudaranya?
Ungkapanku ini mungkin menimbulkan keraguan di hati pembaca, atau bahkan menuduhku sudah “gila” karena sudah berlebihan. Aku menyadari itu, tetapi aku tidak menemukan “hasil” yang pas tentang pengamatanku terhadap pribadi Sang Guru kecuali ungkapan itu.
            Salah satu bentuk kesaktian Sang Guru dapat aku ceritakan berikut ini :
Suatu saat ada seorang artis dari Yogya yang terkapar sakit di sebuah rumah sakit swasta di kota itu. Para dokter sudah angkat tangan. Tidak ada jalan lain buat mengobati sakitnya. Pasien sudah ditutup dengan selimut putih sementara beberapa saudaranya menghadap Sang Guru dan meminta pertolongannya. Sang Guru diikuti oleh Pak Samuel, seorang “santri” dari Papua yang kebetulan sedang berada di pondok datang ke kamar pasien. Dibukanya selimut putih, dipegangnya jempol kaki pasien lalu diusapnya wajah pasien dan tidak lama kemudian pasien itu siuman. Hingga sekarang pasien itu  tetap sehat dan beraktifitas kembali seperti biasa.
Pak Samuel yang telah menyaksikan Sang Guru “menghidupkan” orang mati makin cinta kepada Sang Guru. Aku tidak tahu sejak kapan dia datang ke pondok dan siapa pula yang mengajaknya. Yang jelas setiap ada acara besar di pondok dia selalu hadir di tengah-tengah kami. Sang Guru pun menghormati kedatangannya seperti menghorrmati tamu-tamu lainnya. Pak Samuel sering bercerita tentang pengalamannya bersama Sang Guru. Dan dia  yang  beragama kristen itu berkata bahwa dia telah  menemukan Yesus di sragen  ini.
SANG GURU ( 10 )
ORANG yang datang kepada Sang Guru berasal dari berbagai daerah, berbagai etnik, berbagai agama,  berbagai strata sosial dan membawa berbagai masalah. Dan ketika Sang Guru menyampaikan sebuah petuah, wejangan atau pengajian, maka penafsiran para audien pun beragam sesuai basis kehidupan mereka. Tetapi di sisi lain, semua orang yang datang, masing-masing merasa dihormati dan disayangi oleh Sang Guru. Maka tidak heran bila mereka jadi “ge-er” alias gegeden rumangsan atau dalam bahasa Indonesia terlalu “pe-de” untuk menjadi yang “paling” di antara sesama santri.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, aku dan suami diminta hadir di masjid Lemahbang jam 3 pagi utk kemudian sholat subuh berjamaah di sana dan setelah itu ke Tuban melihat lahan  calon lokasi  masjid yang akan dibangun di sana.
Dengan penuh percaya diri dan merasa penting, kami berdua datang ke masjid itu. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil dengan 3 penumpang. Ternyata mereka juga mau ke Tuban. Demikian juga tamu berikutnya dan berikutnya lagi hingga terkumpul sekitar 40 orang. Kami saling bertanya dan bercerita bahwa kedatangan kami sepagi ini atas perintah Sang Guru. Kemudian kami semua tertawa, mentertawakan diri sendiri karena ternyata kita punya “posisi” yang sama dan sama-sama “ge-er.”
Tetapi jangan salah sangka, bahwa jika Sang Guru menerima kedatangan semua orang tanpa pandang agama dan status lalu diartikan sebagai  membenarkan semua agama. Tidak. Terhadap perbedaan agama beliau lebih sering mengajarkan “lakum diinukum waliyadiin” .   “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” . Atau ” laa ikrooha fid diin”, tidak ada paksaan dalam meyakini agama.Tetapi pada sisi lain beliau juga mengajarkan “inna diina ‘inda Allah ‘l Islam”… “Agama yang ada di sisi Allah adalah Islam.” Islam adalah rohmat untuk semesta alam dan karena itu harus bisa merengkuh, mengayomi dan mendamaikan  agama lainnya. Bukan memusuhi mereka. Mereka harus tunduk kepada nilai-nilai Islam yang  kita ejawantahkan pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kita membuat orang tertarik pada Islam karena kebaikannya. Kita harus bisa menjadi contoh bagaimana menjadi muslim yang benar. Dalam hal ini Sang Guru sudah memberi banyak contoh kepada para santri. Sang Guru menjalani kehidupannya sesuai nilai-nilai Islam baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Sambil berseloroh beliau sering berucap, ”Aku sudah ittiba’ (mengikuti) Nabi. Nabi petani, aku juga petani. Nabi pengusaha, aku juga pengusaha. Yang belum, Nabi jadi pejabat tapi aku masih jadi rakyat biasa.”
Lebih jauh   Sang Guru mengajarkan, “Inti  agama itu adalah taat dan taubat kepada Tuhan”. Menjalankan agama artinya menjalankan  ketaatan dan pertaubatan kepada Tuhan. Dua kata itu harus beriringan karena taat saja tanpa taubat bisa menumbuhkan kesombongan religius karena  orang lupa pada kesalahan atau kekhilafannya sendiri. Sebaliknya kalau hanya taubat saja tanpa mentaati perintahnya sama dengan bohong.  Tuhan hanya satu dan agama mestinya juga hanya satu. Kalau kenyataannya agama menjadi banyak, itu kan karena penafsiran manusia menurut akal dan penghayatannya sendiri. Mestinya Al Qur’an juga jangan ditafsir-tafsirkan. Kita menafsirkan ucapan orang lain saja belum tentu benar, kenapa harus menafsirkan “ucapan Tuhan?”
Akibat dari penafsiran itu maka timbul kelompok-kelompok yang masing-masing merasa paling benar. Lalu mereka saling berdebat, saling menjatuhkan bahkan pada akhirnya saling membunuh. Agama bukan lagi sebagai “pendamai” antar manusia, bukan lagi petunjuk ke arah penghambaan kepada Tuhan  malah menjadi pencetus kekerasan antar manusia dengan mengatasnamakan Tuhan.
Ilmu itu ada 4 tingkatan, begitu kata Sang Guru  di hari-hari pertama  aku masuk pondok. Saat itu aku sama sekali tidak memahami maksudnya. Kalimatnya singkat seperti ini, ”Paling rendah, ilmu tumbuh-tumbuhan, di atasnya ilmu kitab, ilmunya kyai, terus ilmu ukur – ilmunya para wali dan nabi dan yang paling tinggi, ilmu alam, ilmunya Tuhan.”  Tanpa penjelasan lebih detil dan aku tidak berani bertanya atau lebih tepatnya ”tidak bisa” bertanya.
Pada kesempatan yang lain, beliau mengulang pelajaran itu dengan sedikit penjelasan. Ilmu tumbuh-tumbuhan itu wujud lakunya adalah binatang. Ilmu kitab natap-natap (mentok),  ilmunya kyai dan para alim ulama, kalau kitabnya dicuri orang dia tidak bisa mengajar. Ilmu ukur, ilmunya para wali dan nabi, mereka selalu tepat mengukur mana yang haq dan mana yang batil. Ilmu alam, ilmunya Tuhan, ilmu yang sangat luas dan berlaku untuk seluruh jagad raya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin seringnya  aku mendengar keterangan itu di beberapa kesempatan, aku mulai mencoba memahaminya. Tentu saja pemahaman menurut versiku. Aku tidak tahu apakah orang lain akan sepaham denganku.
Tingkatan pertama, ilmu tumbuh-tumbuhan dengan perilaku hidup seperti binatang. Tumbuh-tumbuhan adalah unsur alam yang diawali dengan biji  yang tertanam lalu dengan proses alam dia tumbuh sedikit demi sedikit, pada waktunya dia berbunga, dan pada saat berikutnya dia akan  berbuah. Setelah itu dia menjadi tua,  layu, kering dan mati.  Manusia yang hanya sampai pada ilmu tumbuh-tumbuhan dia akan berlaku seperti binatang lalu melahirkan sifat ego yang besar, nafsi- nafsi alias ” loe-loe, gue-gue.” Manusia itu  hayawanun natiq – binatang berakal.
Jika pemahamanku ini aku kembangkan lagi, maka akan aku temukan kualitas hidup manusia yang seperti ini, ”lahir, dewasa, kerja, kawin, punya anak, punya harta, selesai…” Tidak ada sentuhan nilai yang lebih tinggi dari itu. Sama dengan ayam atau kambing yang setiap pagi pergi cari makan, kalau sudah kenyang pulang, tidur, dan begitu seterusnya. Aku sering mendengar Sang Guru menyebut seseorang dengan pitik – ayam. Mungkin karena hidupnya hanya untuk mencari makan dan menimbun harta duniawi.
Ilmu kitab, natap-natap, ilmunya para kyai, kalau kitabnya hilang dia tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyampaikan ilmunya.
Menurut pemahamanku,  kata “kyai” dan “kitab” dapat diperluas maknanya sebagai berikut: Kyai adalah alim ulama, dan para cerdik cendekia, para intelektual dan akademisi yang dasar-dasar pemikirannya menggunakan logika dengan syarat tertentu seperti ” sesuatu disebut ilmu jika..”, atau ” sesuatu dinyatakan  logik jika..” atau bahkan ” sesuatu dinyatakan benar jika…” Kemudian kata “kitab”  adalah buku, naskah, transkrip atau apa saja yang berbentuk dokumen yang diposisikan sebagai ” sumber ilmu” atau “referensi” atau ”dasar berpendapat.”
Pada taraf ini manusia hanya berkutat pada wacana-wacana saja. Hanya beradu argumentasi, berdebat mencari “kebenaran” dan karenanya dia berada di “menara gading”. Susah membumi.
Sang Guru sering berucap, ilmu kitab  natap-natap. “Natap” adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “terbentur”, dalam makna “mentok” , tidak dapat diteruskan. Pemahamanku tentang hal ini adalah, ilmu kitab tidak akan dapat menyelesaikan masalah, tidak dapat memberikan solusi pada persoalan hidup manusia secara global.
Sering sambil berseloroh Sang Guru berujar, ”Kalau kyai nggak bawa kitab nggak bakalan bisa mengajar. Kalau aku, sambil merem aja bisa kok.” Beliau bukan bermaksud menyombongkan diri melainkan memberitahu bahwa ilmu dalam kitab dan buku itu tidak seberapa, maka jangan sombong dengan tingginya pendidikan atau gelar akademis yang sudah diraih dan ditulis di depan atau di belakang namanya.
Ilmu ukur. Waktu sekolah di bangku SMP aku mendapatkan pelajaran ilmu ukur yaitu pelajaran tentang bentuk-bentuk yang terukur dan rumus-rumusnya. Ketika Sang Guru mengucapkan kata “ilmu ukur” seketika aku ingat pelajaran itu. Tetapi ternyata Sang Guru menambahkan kalimat, “Ilmu ukur, ilmune para nabi para wali. Para Nabi lan Wali mesti pas ukurane soal haq lan batil.” Ilmu ukur menurut Sang Guru adalah ukuran tentang haq dan batil. Tinggi sekali.
Dalam kehidupan nyata aku mendapati banyak fenomena yang memang masih perlu dipertanyakan apakah hal itu benar atau salah.
Banyak kyai yang “berdakwah” pasang tarip, benar apa salah? Banyak kyai yang memotong-motong ayat Qur’an lalu dijual sebagai jimat atau mantra, benar atau salah? Banyak orang mendirikan lembaga bimbingan haji lalu menarik keuntungan dari  para calon haji dalam melakukan ibadahnya, benar atau salah? Banyak biro perjalanan haji dan umroh yang ramai-ramai “memasarkan” ibadah umroh sehingga umroh menjadi ibadah yang “trendy”, benar atau salah? Ada pencuri besar lalu membagikan hasil curiannya untuk fakir miskin yang kelaparan, benar atau salah? Ada orang yang ibadahnya sehari-hari biasa saja, tetapi untuk kegiatan sosial dia luar biasa, benar atau salah? Banyak ustadz yang tampil  menjual ilmunya dengan gaya artis dan selebritis, benar atau salah? Banyak fenomena kehidupan yang rancu di sekitar kita dan kita tidak dapat berbuat apa-apa.
Terhadap kenyataan ini Sang Guru pernah bercanda dengan memplesetkan kata ” jamaaaah……” yang biasa diucapkan seorang ustadz di sebuah tivi swasta dengan kata ”unthuuuuuk…” Unthuk adalah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “busa” – “buih.”
Bukankah Rasul pernah bersabda yang artinya kurang lebih, ” di zaman akhir nanti, Islam tinggal seperti buih….kelihatan besar dan menarik, tetapi sebenarnya kosong melompong tidak ada isinya sama sekali…”
SANG GURU (11)
TINGKATAN ilmu yang tertinggi adalah ilmu alam, ilmunya Tuhan.
Tentang ilmu alam sebagai ilmunya Tuhan, Sang Guru belum pernah memberikan penjelasan apapun baik secara pribadi maupun secara umum saat pengajian. Tidak, sekalipun hanya sebaris kata seperti pada ilmu yang lain. Dalam ilmu tumbuh-tumbuhan Sang Guru menambah " lakunya seperti binatang". Dalam ilmu kitab Sang Guru menambah " natap-natap".... Dalam ilmu ukur Sang Guru menambah "ukuran haq dan bathil".  Sedang untuk yang satu ini, hanya  "ilmu alam ilmunya Tuhan"... titik.  Maka sulit bagiku untuk menuliskannya walaupun dalam ruang pikir dan jiwaku,  aku mengerti.
Namun demikian, aku melihat kehidupan Sang Guru dalam keseharian baik ucapan kalimatnya, ungkapan pikirannya atau perilakunya selalu dekat dengan alam. Bahkan dapat dikatakan alamiah sekali. Tidak ada rekayasa, tidak ada basa basi. Semua lugas, tuntas dan jelas. Termasuk saat beliau salah ucap atau salah tangkap.
Dalam hal bangunan pondoknya, semua bahan alami, tidak ada bahan hasil rekayasa. Dalam hal makanan, beliau masih setia dengan segala sesuatu yang direbus atau digoreng. Beliau tidak suka  menyantap makanan hasil rekayasa. Demikian juga proses pekerjaan. Dalam bertani beliau tidak menggunakan pupuk buatan melainkan pupuk alami atau pupuk organik. Bahkan dalam banyak hal beliau sering menggunakan bahasa alam.
Ketika ada seorang santri yang mengeluhkan anaknya yang lemah, cengeng dan sangat perasa, Sang Guru memberinya nasehat,"Kon mangan jangan bung sing akeh," -   “Suruh makan sayur bung yang banyak ". Yang dimaksud dengan sayur bung adalah sayur  rebung, pangkal bambu yang masih muda. Sayur rebung adalah salah satu masakan khas orang Jawa. Orang yang masih awam tentu akan melakukan nasehat  itu apa adanya.
Tapi apakah nasehat Sang Guru itu harus ditelan mentah-mentah? Benar-benar makan sayur rebung? Tidak. Yang beliau maksud dengan makan sayur rebung adalah melatih dan  mengajari anaknya dengan sesuatu agar hatinya  kuat dan tegar seperti  "kuat dan tegarnya bambu" .
Di suatu sore ba'da ashar aku dan suami berada di pondok dan kami ngobrol bertiga di ruang tamu. Langit mendung, angin bertiup perlahan dan tak lama kemudian hujan turun dengan deras. Ruang tamu menjadi setengah gelap tanpa lampu. Halilintar menyambar-nyambar dengan suara menggelegar seolah berada di atas kepala. Kami bertiga sama-sama diam membisu. Tak lama kemudian Sang Guru berkata, "Bu wiwik pernah berdzikir menyebut asma Allah dengan keras tapi tanpa suara?"  Kami berdua saling berpandangan. Beliau melanjutkan, "Jantung kita berdetak keras dengan irama tegap melafalkan Allah..Allah.. Allah..." Kami berdua menundukkan kepala. "Usahakan bisa melakukan itu, suara halilintar itu tidak sebanding kerasnya dengan suara dzikir kita di hati," lanjut Sang Guru.
Beliau sangat menghargai dan menghormati kehidupan. Menurutnya, tidak ada hak bagi suatu makhluk untuk membunuh makhluk lainnya. Itu haknya Tuhan. Manusia hanya bertugas merawat dan menjaga kehidupan. Kecuali "pembunuhan" yang berlangsung sesuai ekosistem. Bahkan ekosistem harus terjaga demi tegaknya  keseimbangan alam.
Pernah di suatu siang ba'da dzuhur, aku dan  suami menghadap Sang Guru dan diterima di serambi masjid Mahbang. Kami bertiga duduk di serambi bagian utara sehingga tidak banyak orang lewat. Kami ngobrol tentang berbagai hal. Sementara itu datang serombongan semut berbaris melewati tempat kami ngobrol. Sang Guru memperhatikan barisan semut itu lalu berkata, "Pindah ke sini Bu wiwik, di situ ada semut lewat... " Beliau menggeser posisi duduknya beberapa meter ke samping. Kami mengikuti beliau. Semut pun diperlakukannya dengan sopan.
            Pada kesempatan yang lain ada peristiwa, sebuah bus pariwisata yang akan parkir di halaman rumah makan menabrak pohon mangga yang tumbuh di halaman depan masjid. Batang pohon itu patah persis di bagian tengah. Maklum pohonnya masih "remaja". Mendapat laporan tentang hal ini Sang Guru segera datang ke halaman masjid lalu mendekati pohon itu. Beberapa menit beliau jongkok di samping pohon, entah apa yang dilakukannya. Tetapi mengingat bahwa Sang Guru biasa "bercakap-cakap dengan alam" , aku menduga saat ini beliau sedang " menghibur dan mengobati luka hati pohon itu". Tidak lama kemudian sopir bis itu dipanggilnya. Dengan suara datar  beliau mengingatkan sopir itu, "Sebelum pergi meninggalkan lokasi ini kamu harus pamit sama pohon ini" sambil menunjuk ke arah pohon yang pucuknya sudah terkulai  ke bawah.
Setelah bis itu pergi, dengan menitikkan airmata Sang Guru mencabut pohon itu perlahan-lahan lalu membawanya  ke halaman belakang. Beliau kembali ke halaman depan dengan membawa sebatang pohon mangga yang lain dan menanamnya di tempat semula sebagai pengganti.
Memang, di sekeliling masjid beliau menanam beberapa pohon mangga, pohon kersen (talok) dan pohon lainnya dari jenis pohon berbuah.  Semua tumbuh dengan subur kendati di musim kering seperti saat ini. Mungkin aku terkesan berlebihan. Tetapi, memang begitulah kenyataannya.
Tentang pohon dan tanaman Sang Guru sering memberi nasehat kepada kami semua, "Senanglah bercocok tanam tetapi kalau sudah berbuah jangan marah kalau buahnya diambil  orang.”
Nasehat itu menyadarkan kami bahwa kami hanya bisa menanam, dan sama sekali tidak punya kemampuan untuk menumbuhkan atau memberinya buah. Jadi sudah semestinya kalau buah itu dihalalkan untuk siapa saja yang membutuhkan. Sejatinya, buah itu milik Allah.
Sang Guru juga menghalalkan semua buah dari pohon yang ditanamnya baik di halaman masjid Mahbang maupun di halaman pondok Plosorejo. " Silakan ambil, ndak usah minta ijin. Halal," kata beliau suatu saat." Tetapi tentu saja jangan membuat kerusakan. Petik dengan cara yang benar dan tunggu sampai matang..."
Lebih jauh beliau menerangkan, "Kita harus berterimakasih kepada tanaman, kepada pohon-pohonan. Mereka dengan rutin memberi manfaat kepada kita. Padahal antar sesama manusia saja belum tentu saling memberi manfaat.  Pernahkah kalian mengucapkan terimakasih kepada padi saat kita makan nasi? Atau berterima kasih kepada kedelai, bayam , kangkung, jagung dll yang setiap saat kita makan? Kita, bangsa manusia ini memang serakah dan sombong.
Beliau menjalin persahabatan yang erat dengan alam. Terbukti, ketika terjadi tsunami di Aceh tahun 2004, beliau bersama keluarga melakukan puasa setiap hari sepanjang 2 tahun. Ketika akan memberi perintah untuk berhenti puasa, mendadak terjadi gempa di Yogya tahun 2006, maka puasa itu tidak jadi berhenti alias dilanjutkan lagi hingga setahun ke depan. Perintah puasa ini hanya untuk keluarganya, tidak untuk para santri atau pengikutnya.
Bagi orang yang "syariat minded" pasti akan bertanya, "Apa ada tuntunannya, puasa kok tiap hari?"  Menurut pemahamanku puasa yang dilakukan Sang Guru dan keluarganya  itu adalah puasa tirakat sebagai bentuk "toleransi" kepada alam yang sedang murka.
Beberapa kali beliau menjelaskan, "Kalau seorang pemimpin curang dan tidak memegang amanah, maka alam yang akan murka. Bersatunya tanah, air, api dan udara adalah bencana..."

           
· · · Bagikan · Hapus

  • Anda menyukai ini.
    • Rohmat Basuki Tulisan Bu Wiwik ini bicara apa adanya. RB mengedit seperlunya.
      11 Oktober jam 10:56 ·
  • Tekan Enter untuk mengirim komentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar